Rabu, 16 Juli 2014

Memahat Makna

BERARTI. Menulis, tentu dengan tujuan tertentu. Penulis yang pertama memahami tujuannya menulis. Hampir bisa dipastikan, sebagian besar bertujuan baik. Ada memang yang rada ‘aneh’, tetapi prosentasenya kecil. Saya mengamati tulisan seseorang di blog dan media cetak, yang isinya rada-rada miring. Cenderung ‘menyerang’ orang lain. Sakit jiwa kali.


Secara tidak tertulis, ada konvensi, tidak menyerang pribadi. Dalam mengkritik, sebaiknya lebih ditujukan pada umum dalam artian sebagai korekasi bagi sesama. Dengan demikian tulisan lebih berarti, bermakna, berguna bagi khalayak. Misalnya, sistem  pendidikan atau guru, bukan Ersis guru SMU Anu.

Jujur saja, karena semangat memotivasi mengebu-gebu, misalnya, dalam tulisan mengkritik cara pengajaran menulis yang sangat teoritik. Saya berpendapat, ada kelemahan mendasar dalam pendidikan (menulis) di sekolah formal. Mengabaikan praktik. Hal tersebut saya motivasi dengan jargon, tulis, tulis, dan tulis. Ya, katakanlah sebagai lawan teori konvensional.

Revolusi menulis ala Ersis Writing Theory (EWT) dimana menulis ditempatkan dalam bangun mindset mudah dan memudahkan. Ratusan tulisan tentang menulis, dan telah menjadi 10 buku tercetak, membahas hal dimaksud. Ada memang pembaca yang merasa tersentil urat malunya, ada pula yang tersenang, dan bla-bla. Tergantung masing-masing pembaca.

Padahal, tujuan menulis serial menulis, tidak lain tidak bukan, agar pembaca, terutama penulis pemula, lebih termotivasi. Pembacaan pribadi terhadap berbagai hal, ditambah pengalaman yang belum seberapa, mematri menulis sebagai satu kunci bagi peradaban. Tulisan mensilaturamihi jutaan manusia.

Melalui tulisan kita saling berbagi hal-hal bermakna. Perjumpaan dan persaudaraan tanpa bersua. Bertukar pengalaman, berbagi pengetahuan, saling ‘berbincang’ tanpa bertatap. Asyik.

Makna-makna disampaikan dan tersampaikan. Harap harapan, saling menolong, dan berbagai hal disampaikan untuk ‘dipecahkan’. Yang berkelebihan di satu hal berbagi untuk yang membutuhkan. Tulisan memuat dan menyampaikan hal-hal berguna.

Sampeyan boleh tinggal di Sabang, NAD atau Merauke, Papua. Tari di Chile atau Mega San di Jepang, menjadi saudara tanpa pernah melihat wajahnya. Saya merasa begitu dekat dengan Siti Fatimah Ahmad yang kuliah di Universiti Kebangsaan Kuala Lumpur; seolah-olah berbincang tiap hari melalui tulisan. Belajar bahasa Malaysia dari Cikgu secara tidak langsung.

Seperti apa sih tampang asli Sawali Tuhsetya atau Anang Tutur, Suhadi, Yari NK, Ani Batam, Mey Medan, Unai Jogja, dan ribuan lainnya yang telah menjadi keluarga besar saya dalam menulis, sungguh tidak pernah melihat. Tapi, dari tulisan-tulisan mereka saya meneguk makna, dan memaknai sebagai sedekah bagi rumah pengetahuan dan persaudaraan. Sungguh, kiriman makna-makna tulisan begitu dahsyat.

Saya juga ngak kenal Marsmallow yang rajin komen atau pendatang baru seperti Ozan, Aminhers, Epat, Achoey Sang Khilat, Enpe, Sigit, sampai Robert Manurung. Tak kenallah lah awak.

Yang pasti, ketika berkunjung ke blog mereka atau mereka menyapa di blog saya, ada sesuatu yang mengeliat di ulu rasa. Saya menikmati persaudaraan. Ada rindu, ada kangen. Menjadi bagian kehidupan. Karena itu saya tak merasa rugi secuilpun menatap layar komputer.

Wahai Sudara ‘seiman’ dalam tulisan. Kirimkan daku makna-makna kandungan kalbumu, layangkan melalui awan madah-madah kehidupan, asahkan pikir dan jiwaku melalui jari-jari kalian. Terimalah pula paket kata-kataku. Ajari aku, atau mari saling memberi agar torehan kalimah kita semakin bermakna.

0 komentar:

Posting Komentar